DERITA DI UJUNG TOMBAK



    Kobaran api yang menantang pasti datang dari sesuatu hal yang menantang pula, tantangan dan terjangan harus dihadapi dengan semangat yang berkobar. bagaikan si jago merah yang melalap gedung nan tinggi.
        walaupun pahit menghadang, namun harus diterjang dan dilawan. aku tidak akan peduli dengan apa tantangan dan terjangan yang timbul. memang terkadang aku merasa sedih bila harus melewati tantangan  yang begitu berat, namun aku tak bisa mengelak tantangan yang di anugrah kan oleh sang maha kuasa, pemilik jagat raya ini. Dengan ambisi dan daya juang yang bergelora, aku pasti bisa melewati semua ini.
 *****
        Sore itu saat pulang sekolah, sesampai nya di rumah kulihat orang tua paruh baya sedang membereskan peralatan untuk menangkap ikan pada pagi besok, sementara ku lihat alam tidak bershabat, awan-awan komulus nimbus bergumpal-gumpal memenuhi alam raya, hingga menjadi gelap. Angin bertiup kencang membawa rintik-rintik kecil yang membasahi bumi.
         Selesai mengganti pakaian sekolah, aku bergegas pergi membantunya. untuk membereskan peralatan yang sedang dia kerjakan kedalam bangsal[1]. Agar tidak tersentuh partikel-partikel yang berjatuhan dari langit.
       Tidak seperti biasanya, cuaca pada hari ini sangat  buruk, angin timur bertiup kencang menghantam pulau diujung selat melaka, akibatnya sudah dua hari para masyarakat disekitar pulau itu tidak melaut, begitu juga dengan ayah ku. Yang setiap harinya bekerja sebagai nelayan bersama-sama masyarakat setempat. itulah mata pencaharian ayahku sehari-hari. semantara ibuku hanya terlentang menatap langit-langit dan terdiam membisu tanpa gerak sedikitpun, ibuku terserang setruk ketika aku masih berusia 12 tahun. Aku memiliki seorang kakak dan adik, kakakku sudah tidak melanjutkan sekolah lagi, dikarnakan oleh faktor ekonomi yang tidak mengizinkan dia untuk melanjutkan sekolah lagi, sementara aku masih kelas 3 SMP yang tidak tau kemana arah tujuan yang harus aku pilih, Adikku masih berada dikelas 4 SD.
            Seperti biasa, setiap hari minggu aku mambantu ayah untuk menangkap ikan dilaut. Pagi-pagi kami harus pergi melaut dan pulang pada malam harinya, biasanya hasil ikan tangkapan kami sebagian akan di jual dipasar dan sebagiannya lagi untuk makan dirumah. Namun pada hari ini hasil tangkapan kami tidak seperti biasanya, dikarenakan cuaca pada bulan ini tidak menentu. Dan akhirnya kami pulang dengan tangan hampa tanpa hasil tangkapan.
            Sesampainya di rumah, adikku sudah menunggu di depan pintu.“bang, banyak tak dapat ikan hari ne?” Tanpa jawab apa-apa hanya segelintir senyum yang aku lemparkan pada adikku, aku tau pasti anak sekecil itu sangat membutuhkan perhatian dari kakaknya, dan belum tahu bagaimana keadaaan kakaknya disaat itu. Tidak seperti ayahku, orang tua yang sangat menyayangi anaknya, sebenarnya dia ingin sekali melihat anaknya hidup bahagia, namun semua itu hanya hayalan belaka dari mimpi-mimpi yang tak terwujud tanpa usaha yang keras.
            Pernah suatu hari, aku duduk bersama ayah di ujung pelabuhan menunggu datangnya sampan yang di pinjam oleh sahabat karib ayahku untuk memancing ikan. Kami bercerita tentang masa depan keluarga kami.
            “wan, dikau ape masih mau melanjutkan sekolah kalau sudah tamat SMP?”
Aku terdiam sejenak mendengar perkataan dari ayahku, aku tak tau apa yang harus aku jawab.
            “itu tergantung pada ayah saje, kalau memang kita ada biaya untuk melanjutkan SMA, ridwan mau yah, tapi kalau tak ade, tak usah lagi”.
            “bukan begitu wan, uang itu mudah di cari, apa lagi kau lah tulang punggung keluarga, ayah ni dah tue kalau besok ayah sudah tak ada kau lah yang mencari nafkah buat adik dan kakak kau, sementara ibu kau tak dapat apa-apa lagi”. Kulihat wajah ayah yang kelam, kening berkerut-kerut, membuat hati ku merintih ketika mendengar harapan dari seorang ayah yang memiliki semangat berkobar-kobar yang tertanam dalam jiwanya, untuk menyekolahkanku walaupun hanya sebagai seorang nelayan, yang tak pasti berapa penghasilannya dalam sehari .
            Setelah lama kami duduk di pelabuhan, akhirnya datang juga orang yang kami tunggu-tunggu,
*****
            Pagi itu tepat tanggal 20 april bertepatan hari senin, tidak lama lagi aku akan menghadapi ujian nasional, sudah hampir 3 tahun aku arungi masa remaja, namun tidak pernah aku merasakan hal yang kata orang masa remaja adalah masa yang sangat indah dan dipenuhi kebahagiaan. tapi sebaliknya, justru dimasa remaja lah aku merasakan kesulitan yang sangat mendera jiwa dan ragaku.
            Pagi itu aku bersiap-siap pergi kesekolah, sedangkan ayah sedang menyiapkan jaring untuk pergi menangkap ikan. Setelah selesai sarapan yang telah dipersiapkan oleh kakak yang sangat aku sayangi. Aku berpamitan dengan ayah  dan ibu, aku tidak tahu kenapa hari ini perasaan ku ada yang mengganjal, apa lagi ketika aku berpamitan dengan ayah, beliau berpesan kapada ku.
            “belajar yang baik ya nak, semoga allah senantiasa bersama mu dan jangan lupa jaga adik dan kakak mu”.
       Aku hanya menunduk, seraya mencium tangan ayah. Aku tak pernah merasakan hari yang begitu berat untukku melangkahkan kaki dari rumah menuju ke sekolah untuk menggapai bintang yang cerah. Yang menyinari keluargaku. dengan perasaan berat hati aku pergi menuju ke sekolah bersama teman-teman sebayaku.
            Disaat menuju ke sekolah aku hanya diam, diam, dan diam. sementara teman-teman bercerita tentang aktifitas yang mereka lakukan pada hari minggu, biasanya aku dan teman-teman bermain bola bersama-sama, namun pada hari minggu ini aku tidak bisa bermain bersama mereka. aku harus membantu ayah menangkap ikan di laut, sebenarnya ayah tidak pernah mengizinkan aku ikut menangkap ikan, tapi aku tetap ngotot untuk ikut menangkap ikan dilaut dilaut bersamanya, aku ingin berbakti kepada orang tua. Aku sangat perihatin melihat orang tuaku yang sudah separuh baya mencari nafkah sendirian.
        setiap bekerja bersamanya ku lihat matanya memendam rasa yang sangat lelah, letih yang sangat mendalam. namun itulah tanggung jawab sebagai kepala keluarga harus memberi nafkah untuk keluarganya.
            Tak terasa setengah jam aku dan teman-teman berjalan kaki dari rumah menuju kesekolah dan akhirnya kami sampai juga dan langsung menuju kekelas, saat menuju ke kelas teman-teman yang kulewati terlihat aneh melihatku. Aku pun tak tahu kenapa mereka sinis melihat ku. Mungkin di karnakan, aku tidak  seperti biasa yang mereka lihat. memang hari ini aku tidak tahu mengapa aku seperti ini, aku hanya diam, pikiran ku melayang-layang dengan kata-kata yang ayah lontarkan di saat aku berpamitan denganya. selama aku hidup belum pernah mendengarkan kata-kata yang sangat menusuk kalbuku seperti saat ini.
            Sesampainya di kelas aku langsung menuju mejaku, disudut pas di bawah peta kabupaten, aku duduk disebelah teman ku. yang orang tuanya bekerja sebagi nelayan bersama-sama dengan orang tuaku, setiap hari minggu biasanya kami berdua membantu orang tua melaut, namun pada hari minggu kemaren dia tidak ikut melaut bersama orang tua nya. Dia di ajak paman nya kekota, untuk melihat sekolah yang akan dia tuju setelah lulus dari SMP nanti, aku sangat bangga kepada nya, walaupun orang tua nya bekerja sebagai nelayan, namun tidak menggoyah kan cita-citanya yang ingin menjadi pilot.
            “din , kemaren kau kekota ya?”.
            “ia, dari mana kau tau ?”
            “aku tau dari bapak kau, kemaren aku sama-sama dengan bapak kau melaut trus aku       Tanya dengan bapak kau”.
            “o…ya din, katanya kau mau sekolah dikota ya?”.
            “itu baru rencana wan, belum pasti lagi” jawab nya
            “rencana nya kau mau masuk sekolah apa?”tanya ku
“kemaren aku mau di masukkan SMK, biar tamat SMK, aku langsung      dapat berkerja. Kalau kau wan mau melanjutkan sekolah dimana?”
            “aku belum tau lagi din, kalau bisa sich nyambung lah, ilmu itu kan penting din, itu pun kalau ada duet”.
            Belum lama kami ngobrol, tiba-tiba lonceng masuk pun berdentang, semua siswa menuju kekelasnya masing-masing. hari senin ini sekolah kami tidak melaksanakan upacara bendera, karna lapangan di genangi oleh air, sudah satu minggu hujan membasahi bumi ditimur selat Melaka.
*****
       Disaat suasana belajar, sungguh tidak tenang batinku. Bagai kan genderang mau perang yang di hantam ribuan masalah dan rintangan. Ketika mata ku tertuju keluar tanpa memperhatikan penjelasan buk guru di depan kelas. Kulihat mata hari bersinar tidak lagi leluasa. terhadang awan gelap gulita. Tidak lama kemudian guruh kembali bersahut-sahut mengepung langit, tiupan angin membawa rintikan gerimis yang berganti hujan yang tercurah dari ember raksasa, sehingga membasahi alam yang indah ini. Kutatap langit kelabu dengan rasa was-was yang mendalam. Pikiran kuterbang melayang memikirkan ayah ku yang sedang melaut, beliau pasti sangat kedinginan, menentang ombak yang sangat ganas, sambaran petir menjilat-jilat bagaikan si jago merah yang ingin melahap gedung raksasa.
            Kulihat dari kejauhan ada seseorang berlari tergopoh-gopoh melewati derasnya hujan untuk menuju kekelas ku. mataku samar-samar  melihat orang itu, namun aku kenal dengan bentuk tubuhnya yang di selimuti kabut asap, rambut nya menjulur panjang. Lama ku tatap orang itu dari kejauhan. Akhirnya aku tahu juga disaat dia berteriak-teriak memanggil namaku, kami satu kelas pun heboh disaat mendengarkan suara itu.
“kalau tidak salah itu adalah suara kakak” batinku suara itu makin lama, makin jelas mendekati kelas ku.
“wan,…….wan,…..wan,……pulang wan”    panggil nya
      Suara itu merangsang kepikiranku yang dari tadi melayang tidak tentu arah, aku pun langsung berlari keluar kelas. Kulihat kakak menangis tersedu-sedu, aku tidak tahu entah apa yang terjadi. Kakak langsung memelukku dan berbicara dengan terbata-bata.
            “wan…..wan….a….a..ayah wan” ucapnya
            “Ada apa kak dengan ayah” aku panik
            “ayah wan” kakak ku mengulangi perkataan nya
            “ayah kenapa kak?”Tanyaku,dengan nada meninggi
            “ayah tenggelam wan”
      Tanpa banyak kata-kata aku langsung berlari menuju kerumah, melintasi terjangan air hujan yang menghadang, yang diiringi deraian air mata yang mengalir membasahi pipi. Hati ku sangat terpukul setelah mendengar kabar yang tak pernah terlintas dalam benakku.
            Sesampai dirumah, kulihat orang telah banyak berkumpul. Air mata ku makin deras membasahi bumi, tak sanggup aku tahan. Aku langsung masuk kedalam rumah tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. kulihat adik kecil ku menungisi sebelah jasad yang telah terbujur kaku terselimuti kain putih yang menutupi seluruh tubuh nya, sedangkan ibuku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mengalirkan air mata tiada henti.
            Hujan pun mulai reda, tapi tak bisa meredakan tangisku, adik, kakak dan ibu. Ayah yang selama ini sangat kami  sayangi telah pergi meninggalkan kami semua.
            Setelah selesai di solat kan, jasad ayah langsung di bawa kepemakaman,  saat kupikul jenazah ayah untuk berangkat menuju istana terakhirnya. Air mata ku berderai-derai serentak dengan langkah kaki ku. Awan menyelimuti pemakaman ayah ku tercinta.                                
      Selesai sudah pemakaman ayah,  sangat berat rasanya ketika aku harus meninggal kan seonggok tanah yang menjadi rumah terakhir untuk ayah. Hanya teriring doa yang ku kirim kan buat ayah, semoga ayah diterima disisi nya, aku yakin suatu saat kelak kami pasti bisa bertemu kembali di surganya.

                                                                                    Darel hikmah,20 des 2009
                                                                                                M.irfan rosyadi
                                                           Mahasiswa ilmu ekonomi UII





[1] Tempat untuk barang-barang berat, seperti cangkul dll, atau seperti gudang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar