"Pelita Dunia"
Muhammad Irfan Rosyadi
KEBERSAMAAN ITU
Kebijakan
cinta yang dianugrahkan kepada seekor semut
Memberikanku
sebuat kekuatan yang tak tertandingi
Ketika
itu, kutempuh kehidupan yang penuh dengan kebersamaan
Berjuang
bersama, Berjalan bersama dan berdiri bersama
Kehangatan
terurai dalam dekapan tiada tara
Kawan
Apalah
arti ketika kita sendiri ?
Sendiri
dan terus sendiri, menyendiri tanpa tepi
Terkurung
didalam kotak berbentuk kubus
Hanya
ada sudut yang terus menyudutkan
Hingga
pikiran berdiri tegak tersudut
Keterbatasan
tanpa pintu keluar
Terkunci
rapat dalam kungkungan alam
Hanya
ada keluh kesah serta kegundahan menyeruak dalam diri
kegundahan
yang bertambah-tambah dan terus bertambah
hingga
benak beku penuh partikel keras, tak terpecahkan
Kawan
Ingat
!
Kehidupan
semut sangat indah
Kesendirian
membuat gundah
Kebersamaan
membawa kebahgiaan
M.Irfan Rosyadi
25032012 (00.14 wib)
*saat kebersamaan
menumbuhkan kehangatan dan ketenangan.
DERITA DI UJUNG TOMBAK
Kobaran api yang menantang pasti datang dari sesuatu hal yang
menantang pula, tantangan dan terjangan harus dihadapi dengan semangat yang
berkobar. bagaikan
si jago merah yang melalap gedung nan tinggi.
walaupun pahit menghadang, namun harus
diterjang dan dilawan. aku tidak akan peduli dengan apa tantangan dan terjangan
yang timbul. memang terkadang aku merasa sedih bila harus melewati
tantangan yang begitu berat, namun aku
tak bisa mengelak tantangan yang di anugrah kan oleh sang maha kuasa, pemilik
jagat raya ini. Dengan ambisi dan daya juang yang bergelora, aku pasti bisa
melewati semua ini.
*****
Sore itu saat pulang sekolah, sesampai
nya di rumah kulihat orang tua paruh baya sedang membereskan peralatan untuk
menangkap ikan pada pagi besok, sementara ku lihat alam tidak bershabat,
awan-awan komulus nimbus bergumpal-gumpal memenuhi alam raya, hingga
menjadi gelap. Angin bertiup kencang membawa rintik-rintik kecil yang membasahi
bumi.
Selesai mengganti pakaian sekolah, aku
bergegas pergi membantunya. untuk membereskan peralatan yang sedang dia
kerjakan kedalam bangsal[1].
Agar tidak tersentuh partikel-partikel yang berjatuhan dari langit.
Tidak seperti biasanya, cuaca pada hari
ini sangat buruk, angin timur bertiup
kencang menghantam pulau diujung selat melaka, akibatnya sudah dua hari para
masyarakat disekitar pulau itu tidak melaut, begitu juga dengan ayah ku. Yang
setiap harinya bekerja sebagai nelayan bersama-sama masyarakat setempat. itulah
mata pencaharian ayahku sehari-hari. semantara ibuku hanya terlentang menatap
langit-langit dan terdiam membisu tanpa gerak sedikitpun, ibuku terserang
setruk ketika aku masih berusia 12 tahun. Aku memiliki seorang kakak dan adik,
kakakku sudah tidak melanjutkan sekolah lagi, dikarnakan oleh faktor ekonomi
yang tidak mengizinkan dia untuk melanjutkan sekolah lagi, sementara aku masih
kelas 3 SMP yang tidak tau kemana arah tujuan yang harus aku pilih, Adikku
masih berada dikelas 4 SD.
Seperti biasa, setiap hari minggu
aku mambantu ayah untuk menangkap ikan dilaut. Pagi-pagi kami harus pergi
melaut dan pulang pada malam harinya, biasanya hasil ikan tangkapan kami
sebagian akan di jual dipasar dan sebagiannya lagi untuk makan dirumah. Namun
pada hari ini hasil tangkapan kami tidak seperti biasanya, dikarenakan cuaca
pada bulan ini tidak menentu. Dan akhirnya kami pulang dengan tangan hampa
tanpa hasil tangkapan.
Sesampainya di rumah, adikku sudah
menunggu di depan pintu.“bang, banyak tak dapat ikan hari ne?” Tanpa jawab
apa-apa hanya segelintir senyum yang aku lemparkan pada adikku, aku tau pasti
anak sekecil itu sangat membutuhkan perhatian dari kakaknya, dan belum tahu
bagaimana keadaaan kakaknya disaat itu. Tidak seperti ayahku, orang tua yang
sangat menyayangi anaknya, sebenarnya dia ingin sekali melihat anaknya hidup
bahagia, namun semua itu hanya hayalan belaka dari mimpi-mimpi yang tak
terwujud tanpa usaha yang keras.
Pernah suatu hari, aku duduk bersama
ayah di ujung pelabuhan menunggu datangnya sampan yang di pinjam oleh sahabat
karib ayahku untuk memancing ikan. Kami bercerita tentang masa depan keluarga
kami.
“wan, dikau ape masih mau
melanjutkan sekolah kalau sudah tamat SMP?”
Aku
terdiam sejenak mendengar perkataan dari ayahku, aku tak tau apa yang harus aku
jawab.
“itu tergantung pada ayah saje,
kalau memang kita ada biaya untuk melanjutkan SMA, ridwan mau yah, tapi kalau
tak ade, tak usah lagi”.
“bukan begitu wan, uang itu mudah di
cari, apa lagi kau lah tulang punggung keluarga, ayah ni dah tue kalau besok
ayah sudah tak ada kau lah yang mencari nafkah buat adik dan kakak kau,
sementara ibu kau tak dapat apa-apa lagi”. Kulihat wajah ayah yang kelam,
kening berkerut-kerut, membuat hati ku merintih ketika mendengar harapan dari
seorang ayah yang memiliki semangat berkobar-kobar yang tertanam dalam jiwanya,
untuk menyekolahkanku walaupun hanya sebagai seorang nelayan, yang tak pasti
berapa penghasilannya dalam sehari .
Setelah lama kami duduk di
pelabuhan, akhirnya datang juga orang yang kami tunggu-tunggu,
*****
Pagi itu tepat tanggal 20 april
bertepatan hari senin, tidak lama lagi aku akan menghadapi ujian nasional,
sudah hampir 3 tahun aku arungi masa remaja, namun tidak pernah aku merasakan
hal yang kata orang masa remaja adalah masa yang sangat indah dan dipenuhi
kebahagiaan. tapi sebaliknya, justru dimasa remaja lah aku merasakan kesulitan
yang sangat mendera jiwa dan ragaku.
Pagi itu aku bersiap-siap pergi
kesekolah, sedangkan ayah sedang menyiapkan jaring
untuk pergi menangkap ikan. Setelah selesai sarapan yang telah dipersiapkan
oleh kakak yang sangat aku sayangi. Aku berpamitan dengan ayah dan ibu, aku tidak tahu kenapa hari ini
perasaan ku ada yang mengganjal, apa lagi ketika aku berpamitan dengan ayah,
beliau berpesan kapada ku.
“belajar yang baik ya nak, semoga
allah senantiasa bersama mu dan jangan lupa jaga adik dan kakak mu”.
Aku hanya menunduk, seraya mencium
tangan ayah. Aku tak pernah merasakan hari yang begitu berat untukku
melangkahkan kaki dari rumah menuju ke sekolah untuk menggapai bintang yang
cerah. Yang menyinari keluargaku. dengan perasaan berat hati aku pergi menuju
ke sekolah bersama teman-teman sebayaku.
Disaat menuju ke sekolah aku hanya
diam, diam, dan diam. sementara teman-teman bercerita tentang aktifitas yang
mereka lakukan pada hari minggu, biasanya aku dan teman-teman bermain bola
bersama-sama, namun pada hari minggu ini aku tidak bisa bermain bersama mereka.
aku harus membantu ayah menangkap ikan di laut, sebenarnya ayah tidak pernah
mengizinkan aku ikut menangkap ikan, tapi aku tetap ngotot untuk ikut menangkap
ikan dilaut dilaut bersamanya, aku ingin berbakti kepada orang tua. Aku sangat
perihatin melihat orang tuaku yang sudah separuh baya mencari nafkah sendirian.
setiap bekerja bersamanya ku lihat
matanya memendam rasa yang sangat lelah, letih yang sangat mendalam. namun
itulah tanggung jawab sebagai kepala keluarga harus memberi nafkah untuk
keluarganya.
Tak terasa setengah jam aku dan
teman-teman berjalan kaki dari rumah menuju kesekolah dan akhirnya kami sampai
juga dan langsung menuju kekelas, saat menuju ke kelas teman-teman yang
kulewati terlihat aneh melihatku. Aku pun tak tahu kenapa mereka sinis
melihat ku. Mungkin di karnakan, aku tidak
seperti biasa yang mereka lihat. memang hari ini aku tidak tahu mengapa
aku seperti ini, aku hanya diam, pikiran ku melayang-layang dengan kata-kata
yang ayah lontarkan di saat aku berpamitan denganya. selama aku hidup belum
pernah mendengarkan kata-kata yang sangat menusuk kalbuku seperti saat ini.
Sesampainya di kelas aku langsung
menuju mejaku, disudut pas di bawah peta kabupaten, aku duduk disebelah teman
ku. yang orang tuanya bekerja sebagi nelayan bersama-sama dengan orang tuaku,
setiap hari minggu biasanya kami berdua membantu orang tua melaut, namun pada
hari minggu kemaren dia tidak ikut melaut bersama orang tua nya. Dia di ajak
paman nya kekota, untuk melihat sekolah yang akan dia tuju setelah lulus dari
SMP nanti, aku sangat bangga kepada nya, walaupun orang tua nya bekerja sebagai
nelayan, namun tidak menggoyah kan cita-citanya yang ingin menjadi pilot.
“din , kemaren kau kekota ya?”.
“ia, dari mana kau tau ?”
“aku tau dari bapak kau, kemaren aku
sama-sama dengan bapak kau melaut trus aku Tanya dengan bapak kau”.
“o…ya din, katanya kau mau sekolah
dikota ya?”.
“itu baru rencana wan, belum pasti
lagi” jawab nya
“rencana nya kau mau masuk sekolah
apa?”tanya ku
“kemaren aku mau di masukkan SMK, biar tamat SMK, aku langsung dapat berkerja. Kalau kau wan mau
melanjutkan sekolah dimana?”
“aku belum tau lagi din, kalau bisa
sich nyambung lah, ilmu itu kan penting din, itu pun kalau ada duet”.
Belum lama kami ngobrol, tiba-tiba
lonceng masuk pun berdentang, semua siswa menuju kekelasnya masing-masing. hari
senin ini sekolah kami tidak melaksanakan upacara bendera, karna lapangan di
genangi oleh air, sudah satu minggu hujan membasahi bumi ditimur selat Melaka.
*****
Disaat suasana belajar, sungguh tidak
tenang batinku. Bagai kan genderang mau perang yang di hantam ribuan masalah
dan rintangan. Ketika mata ku tertuju keluar tanpa memperhatikan penjelasan buk
guru di depan kelas. Kulihat mata hari bersinar tidak lagi leluasa. terhadang
awan gelap gulita. Tidak lama kemudian guruh kembali bersahut-sahut mengepung
langit, tiupan angin membawa rintikan gerimis yang berganti hujan yang tercurah
dari ember raksasa, sehingga membasahi alam yang indah ini. Kutatap langit
kelabu dengan rasa was-was yang mendalam. Pikiran kuterbang melayang memikirkan
ayah ku yang sedang melaut, beliau pasti sangat kedinginan, menentang ombak
yang sangat ganas, sambaran petir menjilat-jilat bagaikan si jago merah yang
ingin melahap gedung raksasa.
Kulihat dari kejauhan ada seseorang
berlari tergopoh-gopoh melewati derasnya hujan untuk menuju kekelas ku. mataku
samar-samar melihat orang itu, namun aku
kenal dengan bentuk tubuhnya yang di selimuti kabut asap, rambut nya menjulur
panjang. Lama ku tatap orang itu dari kejauhan. Akhirnya aku tahu juga disaat
dia berteriak-teriak memanggil namaku, kami satu kelas pun heboh disaat
mendengarkan suara itu.
“kalau tidak salah itu adalah suara kakak” batinku suara itu makin
lama, makin jelas mendekati kelas ku.
“wan,…….wan,…..wan,……pulang wan” panggil
nya
Suara itu merangsang
kepikiranku yang dari tadi melayang tidak tentu arah, aku pun langsung berlari
keluar kelas. Kulihat kakak menangis tersedu-sedu, aku tidak tahu entah apa
yang terjadi. Kakak langsung memelukku dan berbicara dengan terbata-bata.
“wan…..wan….a….a..ayah
wan” ucapnya
“Ada apa kak
dengan ayah” aku panik
“ayah wan” kakak
ku mengulangi perkataan nya
“ayah kenapa
kak?”Tanyaku,dengan nada meninggi
“ayah tenggelam
wan”
Tanpa banyak kata-kata
aku langsung berlari menuju kerumah, melintasi terjangan air hujan yang
menghadang, yang diiringi deraian air mata yang mengalir membasahi pipi. Hati
ku sangat terpukul setelah mendengar kabar yang tak pernah terlintas dalam
benakku.
Sesampai dirumah,
kulihat orang telah banyak berkumpul. Air mata ku makin deras membasahi bumi,
tak sanggup aku tahan. Aku langsung masuk kedalam rumah tanpa mengganti pakaian
terlebih dahulu. kulihat adik kecil ku menungisi sebelah jasad yang telah
terbujur kaku terselimuti kain putih yang menutupi seluruh tubuh nya, sedangkan
ibuku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mengalirkan air mata tiada henti.
Hujan pun mulai
reda, tapi tak bisa meredakan tangisku, adik, kakak dan ibu. Ayah yang selama
ini sangat kami sayangi telah pergi
meninggalkan kami semua.
Setelah selesai di
solat kan, jasad ayah langsung di bawa kepemakaman, saat kupikul jenazah ayah untuk berangkat
menuju istana terakhirnya. Air mata ku berderai-derai serentak dengan langkah
kaki ku. Awan menyelimuti pemakaman ayah ku tercinta.
Selesai sudah pemakaman
ayah, sangat berat rasanya ketika aku
harus meninggal kan seonggok tanah yang menjadi rumah terakhir untuk ayah.
Hanya teriring doa yang ku kirim kan buat ayah, semoga ayah diterima disisi
nya, aku yakin suatu saat kelak kami pasti bisa bertemu kembali di surganya.
Darel
hikmah,20 des 2009
M.irfan
rosyadi
Mahasiswa ilmu ekonomi UII
SEKENARIO KEHIDUPAN KU
Sekenario kehidupan ku
Berputar mengikuti naskah drama yang tak aku ketahui
berjalan
mengikuti alur yang tak pasti
Tak terasa, gonjang-ganjing irama
Dan nada kehidupan telah kuarungi
Produser kehidupan ku
Kamera kejahatan selalu menyorot ku
Selalu menggoda ku untuk melakukan ekting yang tak
menentu
Sehingga aku terjerumus ke seting yang hina
Wahai preduser kehidupan ku
Hati kecil ini, memberontak karna antagonis mu
Malaikat nurani ku selalu merintih
Loding otak ku selalu gelisah
Wahai produser kehidupan ku
Apakah ini naskah drama takdir ku ?
Karya: M, irfan rosyadi
We_h@,24 nov “10
21,38 wib
Langganan:
Postingan (Atom)